Quick Notice

on facebook : "sarah adlina yazid" on twitter : "sarahadlin"

‘Aisyah bintu Abu Bakr, Belahan Jiwa Rasulullah saw. ^_^

Selasa, 23 November 2010 | Sarah Adlina Yazid

Penulis: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Dialah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdillah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay al-Qurasyiyyah at-Taimiyyah al-Makkiyyah radhiyallahu ‘anha. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al-Humaira’. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin ‘Abdi Syams bin ‘Attab bin Udzainah al-Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam menjemputnya -tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr – untuk memasuki rumah tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun di antara istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini. Siapa pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tempat ‘Aisyah. Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah, hendaknya memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali ‘Aisyah.”

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhamerasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma’, kakaknya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu’. Tatkala bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah AllahSubhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada ‘Aisyah, “Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin.”

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah Subhanahu wa Ta’alamenyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. ‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.

Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’atthal radhiyallahu ‘anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’1dan ‘Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang ‘Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah. ‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini belum juga turun sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayatnya yang membebaskan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat an-Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamhingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Sepeninggal beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaantsarid2 atas seluruh makanan.” Bahkan Jibril ’alaihissalam menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tiba waktunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriah dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya, keharumannya namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber bacaan:

1. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim Al-Imam an-Nawawi
3. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah Al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani
4. Siyar A’lamin Nubala’ Al-Imam adz-Dzahabi
5. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah asy-Syaikh Ibrahim al-’Aly

Footnote:

1Istirja’ adalah ucapan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.
2Tsarid adalah makanan dari adonan tepung dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya.

Lihat Majalah Syarî’ah 3/I/Rabî’ul Akhir 1424H/Juni 2003, hal. 50-53 (sebelum Menjadi Asy Syarî’ah).

(Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=78)

dikutip dari www.akhwat.web.id

Tags: | 0 komentar

Melembutkan Suara

| Sarah Adlina Yazid


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ

Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.(Al-Azhab: 32)

sementara diketahui , tabiat seorang remaja putri, ia merasa malu dan memerah wajahnya bila berbicara dengan lelaki mana pun. Apakah ini termasuk hal yang dilarang bila sampai suaranya berubah saat ia terpaksa berbicara?

Jawab:

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu menjawab:

Pertama: seorang wanita tidak boleh berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi) kecuali bila dibutuhkan dan dengan suara yang tidak membangkitkan syahwat lelaki. Juga si wanita tidak boleh memperluas pembicaraan dengan lelaki ajnabi melebihi kebutuhan.

Kedua: Melembutkan suara yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah melunakkan suara dan membaguskannya sehingga dapat membangkitkan fitnah. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh mengajak bicara lelaki ajnabi dengan suara yang lembut. Ia tidak boleh pula berbicara dengan lelaki ajnabi sebagaimana berbicara dengan suaminya, karena hal tersebut dapat menggoda, menggerakkan syahwat, dan terkadang menyeret kepada perbuatan keji. Sementara itu, telah dimaklumi bahwa syariat yang penuh hikmah ini datang untuk menutup segala jalan/perantara yang mengantarkan kepada hal yang dilarang.

Adapun perubahan suara si wanita karena malu tidaklah termasuk melembutkan suara. Wallahu a’lam.

(Jaridah al-Muslimun no. 68, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 689-690)

(Sumber: Asy Syari’ah No. 61/VI/1431 H/2010; katagori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah; halaman 93

dikutip dari www.akhwat.web.id

Tags: | 0 komentar

I'm Muslimah and Very Happy ^_^

| Sarah Adlina Yazid

Senin, 15/11/2010 09:27 WIB | email | print | share

Bagaimana tidak bahagia, kalau dengan kemuslimahan ini kami masih tetap bisa melakukan banyak hal tanpa perlu melanggar aturanNya. Bagaimana tidak bahagia, kalau dengan kemuslimahan ini kami menjadi lebih baik dari hari ke hari dalam ketaatan karenaNya. Dan bagaimana kami tidak bahagia, karena semakin kami bangga dengan kemuslimahan ini, maka semakin Allah menyayangi kami.

Tahukah engkau apa artinya jika Allah telah sayang pada seseorang? Mari kita dengar firmanNya dalam sebuah hadits qudsi :

Berkata Abu Hurairah RA bahwasanya Nabi SAW bersabda :

Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia Ta’ala memanggil Jibril AS seraya berfirman :

"Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan maka cintailah dia.”

Beliau SAW kemudian bersabda :

Maka Jibril AS pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil terhadap penghuni langit : ‘Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah ia.’ Maka seluruh penghuni langit mencintainya. Kemudian di bumi ia diterima.

Apabila Allah membenci seorang hamba, maka Dia Ta’ala memanggil Jibril AS seraya berfirman :

"Sesungguhnya Aku membenci si Fulan, maka bencilah ia"

Lalu ia dibenci oleh Jibril AS. Kemudian Jibril AS memanggil penghuni langit : ‘Sesungguhnya Allah membenci Fulan, maka bencilah kamu sekalian terhadapnya.'

Kemudian Beliau SAW bersabda : Kemudian ia di bumi dibenci oleh orang-orang.

[HQ. 3.5 Ditakhrijkan oleh Al-Bukhari, Muslim] [MZ74-79]

Lalu, apa lagi yang kurang dalam hidup ini jika Allah SWT, para malaikat, penghuni langit, dan penghuni bumi sedemikian istimewa menempatkan kita? Yakinlah, kita tak kan pernah merasa sendiri meski sedang seorang diri.

Akan selalu ada kebaikan dalam kebaikan tercipta, karena memang demikianlah keberkahan hidup terengkuh. Dan pastinya berbeda sekali dengan kedudukan orang kedua dalam hadits tersebut, dimana pasti menjadi pilihan berikutnya jika tak memilih pilihan sebelumnya, yaitu menjadi seseorang yang dicintai Allah SWT.

Jika jelas demikian, lalu alasan apa yang masih membuat sebagian dari kita enggan hidup dengan kemuslimahan ini?

Apa? Jadi muslimah itu ribet?

Apakah yang kau anggap ribet itu mengenakan kain penutup kepala yang lebar hingga menjuntai ke dada? Sementara itu adalah penjagaan terbaik dari Allah yang disebut hijab. Yang maknanya lebih dari sekedar kain penutup kepala. Yang dengannya engkau tak hanya aman, namun juga mengamankan mata dari yang bukan haknya.

Apakah yang kau sebut ribet itu harus memakai pakaian panjang longgar dan tidak transparan? Sementara justru itulah letak harga diri fisikmu. Pun demikian, kau juga aman dan mengamankan syahwat para lelaki tak kuat iman. Itulah yang disebut langkah preventif dari pintu perzinahan, terlebih (na’udzubillahi min dzalik) pemerkosaan.

Kalaupun toh memang ribet, hanya seribet itu kan? Ribet yang tak'kan membuat hidupmu sengsara. Sedikit kepanasan bukan masalah besar, toh akan menjadi sangat biasa jika kau mengenakannya tiap hari.

Ah, jika kita bicara ribet, bukankah shalat lima waktu itu lebih ribet dari pada yang “sembahyang” sepekan sekali? Jangan-jangan kau mengatakan shalat lima waktu juga ribet? Ups, maaf… bukan bermaksud su’udzan, hanya selintas pikiran yang tiba-tiba muncul sebagai bahan perbandingan.

***

Apa? Jadi muslimah itu sulit?

Hei, jangan membuatku tertawa. Bukannya justru sangat simple dan sangat nyaman dengan apa yang ada. Tidak perlu punya se-tas make-up tuk memoles wajah agar tetap terlihat cantik menarik, toh wanita bukanlah benda pajangan yang harus menarik perhatian. Kita sedang tidak jualan diri kawan! Tapi kita sedang hidup dengan akal, hati, dan jasad kita sebagai manusia yang bemartabat.

Muslimah tidak perlu update fashion hanya agar tidak dibilang kampungan dan ketinggalan jaman. Karena pakaian takwa ini adalah model yang tidak pernah lekang dimakan jaman. Akan tetap seperti ini dari dulu dan sampai kapanpun. Kenapa bisa demikian? Karena acuan syarat pakaian takwa ini sudah dipatenkan langsung dari yang menciptakan jaman, yang tentu saja lebih tahu tentang perkembangan jaman. Acuan syarat yang jauh lebih valid dan sempurna, karena juga diperhatikan efek samping untuk diri sendiri maupun untuk orang di sekitar.

Jadi, apanya yang sulit? Oh, apakah tidak bersentuhannya dengan lawan jenis yang bukan mahram, meskipun hanya berjabat tangan itu yang disebut sulit? Ketahuilah, bahwa justru itulah bagian dari istimewanya muslimah. Tak disentuh selain pada yang sudah berhak. Dengan garis jelas antara haram dan halal.

Dan siapa bilang sulit? Hanya perlu sedikit bersiasat agar tetap aman dan nyaman. Misalnya engkau hanya perlu menelangkupkan kedua tangan di depan dada, sedikit tersenyum sambil berucap, “Maaf, saya sudah wudhu.” kalau ketemu lawan dan suasana yang tidak kondusif untuk menjelaskan bahwa memang selain mahram dilarang bersentuhan. Karena tidak bisa dipungkiri masih banyak yang “belum bisa menerima” bahkan ada yang belum mengerti tentang hukum yang satu ini, dimana pernah dikisahkan bahwa Nabi SAW lebih memilih ditusuk dengan besi panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.

Dan ini sedang tidak berbohong, karena kalimat bentuk lampaunya tidak menjelaskan kapan waktu wudhunya, “sudah wudhu” bisa berdurasi sejam yang lalu, sehari yang lalu, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, atau kalau perlu setahun yang lalu. Jadi, kalau masih juga bilang sulit, itu tandanya sih kurang kreatif saja kali ya?

***

Apa? Jadi muslimah itu kudu pinter ngaji? Banyak tahu tentang hukum agama? Tidak boleh tertawa cekakan? Tidak boleh teriak-teriak? Tidak boleh jutek? Tidak boleh bla, bla, bla…

Ayolah kawan, jangan lagi cari alasan, karena semakin banyak alasan semakin menunjukkan kualitas diri, pun semakin menunjukkan kesalahan. Semuanya ada awal mulanya, semua ada proses dan alurnya. Engkau hanya perlu satu kata kunci sukses menjadi muslimah, yaitu taat. Bahasa Al-Qur’an-nya sih sami’na wa atha’na. Karena demikianlah sikap dan sifat para sahabat/sahabiyah dahulu ketika menerima ketentuan syari’at dari untaian tutur sang Nabi SAW.

Taatlah niscaya akan bahagia. Bukan bahagia yang semu, bukan bahagia yang dibayangi kekhawatiran takut kehilangan kebahagiaan itu sendiri. Tapi ini bahagia yang menghujam ke dasar kalbu. Bahagia yang membahagiakan. Karena hanya ada kata sabar dan syukur di dalamnya, yang bermula dari rasa yang sama; percaya akan kebaikan-kebaikan di setiap takdirNya. Tak ada umpatan, keluhan, apalagi penyesalan tentang kehidupan.

Jadi jika demikian tentang kebahagian itu, maka kamilah yang paling lantang berkata, “I’m muslimah and very happy.”

***


dikutip dari www.eramuslim.com

Tags: | 0 komentar